Menyoal Industri Bahan Baku Farmasi

Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional Produksi di Dalam Negeri

Meskipun Indonesia memiliki penduduk dengan jumlah terbesar di ASEAN akan tetapi pengeluaran untuk biaya kesehatan serta konsumsi obat menempati urutan terendah setelah Myanmar.

Nilai pasar obat pada tahun 2010 sebesar USD 4 miliar atau setara dengan USD 18/kapita/tahun (World Bank Report : 2010). Ketersediaan obat didukung oleh 212 industri farmasi (Laporan Program : 2011) dan 40 industri farmasi memproduksi ± 70% obat yang dipasarkan dengan rincian 64% pasar ethical dan 77% pasar OTC.

Dari sudut keterjangkauan secara ekonomis, harga obat di Indonesia umumnya dinilai mahal dan struktur harga obat tidak transparan. Pemerintah telah berusaha untuk melakukan rasionalisasi harga obat akan tetapi terdapat banyak kendala yang
harus dihadapi, salah satunya dalam hal produksi obat.

Ketergantungan yang sangat besar terhadap impor bahan baku obat (baik bahan aktif maupun bahan pembantu/eksipien) yang mencapai 96% menyebabkan tidak stabilnya penyediaan obat nasional dan mengakibatkan fluktuasi harga obat.

Sehubungan dengan pengembangan Bahan Baku Obat Tradisional (BBOT), Indonesia dikenal secara luas sebagai mega senter keanekaragaman hayati yang terbesar didunia. Dengan memiliki 30.000 species tumbuhan dan diketahui sekurang-kurangnya 9.600 species tumbuhan berkhasiat sebagai obat dan kurang lebih 300 species telah digunakan sebagai bahan obat tradisional oleh Industri obat tradisional, merupakan pasar yang potensial bagi pengembangan Bahan Baku Obat Tradisional.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 menunjukan bahwa 55,3% penduduk Indonesia menggunakan ramuan tradisional (jamu) untuk memelihara kesehatannya dan 95,6% mengakui ramuan tradisional yang digunakan sangat bermanfaat bagi kesehatan. Selain itu trend masyarakat yang sudah mulai “back to nature” juga memberikan peningkatan konsumsi akan obat tradisional, baik berupa jamu, Obat Herbal Terstandar (OHT) dan Fitofarmaka.

Seiring dengan akan dilaksanakannya integrasi pengobatan tradisional dalam sektor pelayanan formal, maka akan menimbulkan konsekuensi meningkatnya penggunan obat tradisional di masyarakat. Untuk itu Pemerintah harus dapat menjamin ketersediaan obat tradisional, ternasuk ketersediaan BBOT-nya. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian selaku Unit eselon II di Kementerian Kesehatan yang mempuyai tugas melakukan perumusan pelaksanaan kebijakan dan pembinaan serta bimbingan teknis di bidang produksi dan distribusi kefarmasian telah melakukan berbagai kegiatan seperti sosialisasi dan pertemuan serta koordinasi untuk mendorong industri agar mampu berdaya saing, baik nasional maupun internasional dalam pengembangan bahan baku obat (BBO) dan obat tradisional (BBOT) sehingga dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Dari kegiatan peningkatan produksi dan distribusi kefarmasian Hingga akhir tahun 2011, Indikator Jumlah bahan baku obat dan obat tradisional produksi di dalam negeri dengan target sejumlah 15 bahan baku, baru bisa diproduksi 4 ekstrak terfraksionisasi yaitu:

1) Fraksi Bioaktif Cinamomum Burmani (Kayumanis) dan Lagerstroemia Speciosa (banaba) untuk indikasi penurunan resistensi insulin dan pengobatan diabetes

2) Fraksi Bioaktif DLBS 1425 Phaleria macrocarpa (mahkota dewa) untuk indikasi kanker

3) Fraksi Bioaktif DLBS 1442 Phaleria macrocarpa (mahkota dewa) untuk indikasi Pre Menstruation Syndrome dan nyeri menstruasi

4) Fraksi Protein Bioaktif DLBS 1033 Lumbricus Rubellus (cacing tanah) untuk indikasi aterosklerosis

Hal ini disebabkan Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian pada tahun 2011 tidak mengalokasikan anggaran untuk pengembangan produksi bahan baku obat maupun obat tradisional. Sumber dana yang tersedia hanya dapat digunakan untuk melakukan pertemuan, sosilisasi dan koordinasi serta inventarisasi hal-hal yang berhubungan dengan bahan obat dan obat tradisional.

Cakupan sarana produksi di bidang kefarmasian dan alat kesehatan menggambarkan tingkat ketersediaan sarana pelayanan kesehatan yang melakukan upaya produksi di bidang kefarmasian dan alat kesehatan. Yang termasuk sarana produksi di bidang kefarmasian dan alat kesehatan antara lain Industri Farmasi, Industri Obat Tradisional (IOT), Industri Ekstrak Bahan Alam (IEBA), Indsutri Kosmetika, Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT), Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT), Produksi Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT).

Keadaan cakupan sarana produksi yang dibahas dalam profil ini secara keseluruhan diukur terhadap 33 provinsi di Indonesia pada tahun 2009 hingga 2011. Khusus pada tahun 2011, dapat dilihat persentase ketersediaan sarana produksi di bidang kefarmasian dan alat kesehatan pada gambar 25, dimana terlihat sarana Usaha Kecil dan Usaha Mikro Obat Tradisional memiliki jumlah paling banyak dibandingkan dengan sarana produksi lainnya diikuti oleh Industri Kosmetika dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga.

Gambar 1

Kenyataan ini menunjukkan bahwa pangsa pasar Obat Tradisional cukup diminati oleh dunia usaha dalam negeri. Hal ini dapat disebabkan oleh kemudahan dalam proses perizinan dan ketersediaan sumber daya hayati yang besar dapat meningkatkan pertumbuhan industri obat tradisional.

Tinggalkan komentar