Bisnis Rumah Sakit Seperti Hotel

Direktur Perusahaan Daerah (PD) Perhotelan Cahyo Pramono, mengibaratkan bisnis perhotelan sama dengan bisnis Rumah Sakit (RS). Bedanya, dalam bisnis RS, Cahyo menerangkan tak dibutuhkan promosi layaknya mengelola sebuah hotel. Sebab katanya, semua orang pasti pernah mengalami sakit.

Lebih lanjut Cahyo menerangkan, pengelola RS tidak perlu direpotkan dengan yang namanya diskon. Sebab RS dalam memberikan pelayanannya tidak ada namanya memberikan diskon obat atau diskon pelayanan. Hal itu ia kemukakan saat diskusi santai bersama kru redaksi di kantor harian Tribun Medan Jalan Wahjid Hasyim Medan, Selasa (2/6).

“Bisnis hotel dan Rumah Sakit sama. Sekarang tren orang kan tidak mau sakit tambah sakit. Kalau kalian diberikan pilihan untuk memilih kamar di RS, pasti memilih per kamar satu orang dan tidak satu kamar dihuni banyak orang. Rumah Sakit tidak perlu proposi, karena semua orang pasti sakit. Dan Rumah Sakit tidak ada pakai diskon. Dari segi bisnis itu sangat bagus dan yang kita jalin (konsumen) itu kelas berduit,” ujarnya.

Meski demikian, Cahyo berpendapat bisnis perhotelan di Sumut khususnya Medan bukan berarti tidak menguntungkan. Namun katanya, rata-rata bisnis perhotelan yang membutuhkan investasi yang besar baru bisa break even point rata-rata antara 8-10 tahun. 

Dalam diskusi santai hari itu, Cahyo memiliki pemikiran bahwa bisnis karoke keluarga juga sangat potensial dijalankan di Sumut. Sebab katanya, investasi bisnis karoke keluarga besar diawal tetapi seterusnya panen. “Karoke keluarga ivestasi besar diawal siap itu panen. Tidak sampai dua tahun sudah balik mudal,” ujarnya.

Hal itu menurutnya dikarenakan space yang dibutuhkan untuk bisnis tersebut tidak lah besar. Karoke keluarga biasanya rata-rata hanya membutuhkan ruangan 3×3 sudah cukup. “Dalam bisnis ini saya juga tidak perlu lemari, shower, dan toilet bisa digunakan secara bersama. Investasinya lebih kecil dari bisnis perhotelan. Catatan saya penjualan alkohol di karoke keluarga juga rendah. Jadi tidak usah jual alkohol sekalian,” urainya.

Sebagai Dirut PD Perhotelan yang baru saja diangkat, Cahyo mulai beradaptasi sengan sesuatu yang dianggapnya tidak cocok. Ia mencontohkan, PD sampai saat ini masih diberlakukan layaknya SKPD. Sehingga gayanya seperti pemerintahan. Padahal SKPD dan PD sebenarnya sifatnya jauh berbeda.

“Gubernur orientasinya adalah layanan sosial. Banyak yang bilang PD harus berkontribusi kepada daerah. Saya setuju mengenai itu, tetapi jangan mengambil madu (mengibaratkan pemasukan) yang diproduksi. Jika perusahaan mampu memenuhi diri sendiri baru memenuhi kebutuhan orang lain,” ujarnya.

Dikesempatan yang sama, Cahyo juga sempat mengatakan terdapat satu aset Pemprov Sumut yang ada di Parapat sangat berpotensi. Di mana tadinya itu akan dibangun sebuah hotel zaman Gubernur Rizal Nurdin. Namun, pembangunannya terhenti di tengah jalan dan saat ini hanya berupa bangunan setengah jadi. Menurutnya, jika pembangunan itu diteruskan, ia beranggapan tidak harus dipaksakan untuk dibangun bangus-bagus.

“Ngapain maksa bagus-bagus. Bagus pelayanan, bagus fasilitasnya, tetapi jangan paksakan bintangnya. Sementara ini masih setengah jadi jadi tidak ada operasional. Parapat juga bukan paling potensial, Samosir lebih potensial,” ujarnya.

Dijelaskan Cahyo, ada semacam perubahan pola traveling anak muda dikarenakan komunikasi televisi. Di mana saat ini hampir semua TV, terdapat tayangan berkonsep backpacking yang mulai tersosialisasikan.

“Sekarang sudah musim anak Medan melakukan traveling ke Lombok dan Raja Ampat. Nah, orang luar juga ke Parapat. Untuk menangkap pasar ke mereka maka harus jual harga murah. Sekarang 80 persen wisatawan lokal kunjungan ke Parapat,” ujarnya.(Irf)

Pranala Luar 

Tinggalkan komentar