Nicotine War

Wanda Hamilton, seorang peneliti independen dan pengajar di tiga universitas terkemuka di AS, membongkar konspirasi industri farmasi AS dengan WHO melalui bukunya Nicotine War (Yogyakarta: INSISTPress, 2010). Menurut Hamilton, propaganda anti rokok merupakan bagian dari marketing industri farmasi. Ia menyebut: “Koneksi yang tidak terbantahkan antara propaganda anti merokok dengan industri farmasi.” Targetnya agar orang berhenti merokok, dan untuk berhenti merokok itu harus ada penanganan atas ketagihan nikotin. Dari situlah terbuka jalan bagi terapi atau obat-obat yang dikenal sebagai Nicotine Replacement Therapy (NRT).

Tobacco Dependence, traktat tiga halaman terbitan WHO, menyebut merokok sebagai “wabah pediatri” yang membunuh jutaan anak-anak dan orang dewasa: “Wabah ini diperkirakan akan membunuh 250 juta anak-anak dan orang dewasa yang hidup saat ini, sepertiga dari mereka hidup di negara-negara berkembang.” Dalam traktat itu istilah treatment (penanganan, perawatan) disebut tidak kurang dari 36 kali. Treatment adalah kata kunci untuk memasarkan produk-produk industri farmasi.

Tidak heran jika industri farmasi meraup keuntungan besar. Hamilton mengungkap fakta-fakta ini:

“Sepuluh perusahaan obat terbesar dilaporkan menghasilkan laba rata-rata 30 persen dari pendapatan –margin yang mencengangkan. Selama beberapa tahun belakangan, industri farmasi secara keseluruhan sejauh ini merupakan industri yang paling beruntung di Amerika Serikat.” Angell M, “The Pharmaceutical Industry – To Whom Is It Accountable?” New England Journal of Medicine, June 22, 2000.

“Setiap tahun sejak 1992, industri obat adalah industri paling beruntung di Amerika Serikat, menurut pemeringkatan majalah Fortune. Selama bertahun-tahun itu, besarnya imbalan pendapatan (laba sebagai persentase penjualan) industri obat rata-rata tiga kali laba rata-rata semua industri lain yang tercantum dalam Fortune 500.” Public Citizen Report, “Rx R&D Myths: The Case Againts the Drug Industry’s R&D ‘Scare Card,” July 23, 2001.

“Jika ditotal, kapitalisasi pasar dari empat perusahaan (farmasi) terbesar itu jumlahnya melebihi perekonomian India.” David Earnshaw, mantan direktur urusan pemerintah Eropa untuk Smith Kline Beecham, kini ketua kampanye Oxfam untuk akses terhadap obat-obatan. Dikutip dalam Roger Dobson, “Drug Company lobbyist joins Oxfam’s cheap drugs campaign,” BMJ, 332, April 28, 2001, p. 1011.

Bukan hanya Hamilton yang bersikap kritis terhadap propaganda anti rokok. Gabriel Mahal dalam Epilog Nicotine War menulis nama-nama yang lain. Ada Robert A Levy dan Rosalind B Marimont, yang dalam artikel berjudul Lies, Damned Lies & 400.000 Smoking-Relating Deaths (1998) mengatakan bahwa perang terhadap tembakau telah berkembang menjadi “monster kebohongan dan kerakusan”. Ilmu pengetahuan sampah (junk science) telah menggantikan ilmu pengetahuan yang jujur (honest science). Propaganda tampil sebagai fakta-fakta. Yang jadi korban pertama dalam perang melawan tembakau adalah kebenaran.

Angka 400.000 kematian prematur di Amerika akibat rokok, kata Levy dan Marimont, merupakan estimasi yang di-generated melalui suatu program komputer SAMMEC (Smoking Associated Mortality, Morbidity and Econimic Cost). SAMMEC didasarkan pada model yang salah, mengabaikan semua aturan mengenai epidemiology, dan secara cepat menyimpulkan efek rokok terhadap kematian. Sebagai contoh: jika Joe Smith yang gemuk, punya kolesterol tinggi, diabetes, punya sejarah penyakit jantung dalam keluarga, tidak pernah olahraga, dan…merokok, meninggal karena serangan jantung, maka program SAMMEC akan menyebutkan faktor rokok sebagai penyebab kematian Joe Smith.

Senada dengan Levi dan Marimont, Judith Hatton, co-author buku Murder a Cigarette, mengatakan bahwa pernyataan WHO tentang bahaya merokok tidak lain daripada propaganda yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Data, angka, statistik, estimasi, tidak lebih dari Lies, Damned Lies.

Lauren A. Colby, litigation lawyer dari Maryland, menulis buku In Defence of Smokers (2003) untuk membuktikan bahwa propaganda anti merokok tidak berdasar kebenaran, tidak bertanggung jawab dan liar. Di kata pengantar buku itu Colby menulis: “I wrote this book to refuse the wild, irresponsible and untruthful anti-smoking propaganda which obscures the truth.”

Aisling Irwin dalam artikelnya berjudul “Study casts doubt on heart ‘risk factor” (International News, 25/8/1998), mengungkapkan bahwa studi cardiologi paling besar yang pernah dilakukan, telah gagal menemukan hubungan antara serangan jantung dengan faktor-faktor resiko klasik, seperti merokok dan tingkat kolesterol yang tinggi.

Monica study, demikian nama studi tersebut, yang melakukan kajian di 21 negara selama 10 tahun. Para ilmuwan tidak dapat menemukan koneksi statistik antara reduksi dengan perubahan-perubahan dalam obesitas, merokok, tingkat tekanan darah, atau kolesterol. Hasil studi ini diumumkan the European Congress of Cardiology in Vienna pada Agustus 1998.

Studi yang paling lama dan paling besar di dunia itu menghimpun informasi dari 150.000 serangan jantung, terutama di Eropa Barat, dan Rusia, Islandia, Kanada, China, dan Australia. Penurunan penyakit jantung paling besar terjadidi Swedia. Yang meningkat terjadi di Lithuania, Polandia, China, dan Rusia. Hasil studi juga mengungkapkan, kegelisahan, kemiskinan, perubahan ekonomi, dan sosial mempunyai hubungan dengan penyakit jantung. Fakta ini nampak sejak studi ini mulai dilakukan pada era 1980-an. Seseorang yang berhenti merokok namun kehilangan rumah tempat tinggal secara umum berada pada risiko terkena penyakit jantung karena faktor stres.

Suara-suara kritis terdampar di ruang hampa. Sebaliknya, kampanye anti rokok makin nyaring dan bertaring dengan bergabungnya sejumlah organisasi mitra. Satu yang cukup heboh adalah Bloomberg Initiative (BI). Michael R. Bloomberg, seorang Yahudi AS, pengusaha kaya raya, walikota New York City tiga periode, adalah tokoh di balik BI. Tahun 2006 ia menggelontorkan 125 dollar AS, lalu 250 dollar AS di tahun 2008, dan bersama Bill Gates, Bloomberg sukses menghimpun donasi gabungan sejumlah 500 dollar AS. Apa kepentingan Bloomberg tidak sulit dibaca, Walikota New York City ini dikabarkan membela mati-matian para eksekutif farmasi yang dikambinghitamkan dalam perdebatan layanan kesehatan. Bill Gates? Ia kini sudah punya saham di industri farmasi.

Bloomberg pula yang menghebohkan Indonesia dengan “sumbangan” hampir 4 miliar rupiah ke organisasi keagamaan Muhammadiyah. Pengusaha Yahudi itu juga menggelontorkan miliaran rupiah ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Dinas Kesehatan Kota Bogor, Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular Departemen Kesehatan, Forum Parlemen Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan (IFPPD), Pusat Dukungan Kontrol Tembakau/Tobacco Control Suport Centre, Indonesian Public Health Association (TCSC-IPHA), Komisi Perlindungan Anak Nasional Indonesia (KPAI/ NCCP), Pertemuan Jaringan Kontrol Tembakau Indonesia (NGO) pada 2009, Swisscontact Indonesia Foundation, dan Institut Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Ketika kampanye anti rokok makin intensif, impor tembakau ke Indonesia justru meningkat. Tahun 2003 impor tembakau sebanyak 29.579 ton, meningkat di tahun 2004 jadi 35.171 ton, terus bertambah di tahun 2005 jadi 48.142 ton, dan di tahun 2007 mencapai 69.742 ton. Tidak hanya itu, ternyata impor rokok ke Indonesia juga sangat besar, mencapai 520.000 ton per tahun.

Dan ketika kampanye anti rokok makin intensif, dua industri besar kretek nasional justru diambil alih asing. Tahun 2005, 98% saham Sampoerna diakuisisi Philip Morris. Menyusul tahun 2009, 85% saham Bentoel diakuisisi British American Tobacco (BAT). Di sisi lain, ratusan industri kecil kretek gulung tikar karena kenaikan cukai.

Penting dicatat, Philip Morris dan BAT –dua produsen rokok putih- sempat melakukan kampanye besar melawan peredaran kretek dengan membawa isu kesehatan (tingginya kadar tar dan nikotin pada kretek). Raksasa rokok dunia itu ada dibalik terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 81 Tahun 1999 yang menyudutkan kretek. Presiden Abdurrahman Wahid melalui PP No. 32 Tahun 2000, berikutnya Presiden Megawati melalui PP No. 19 Tahun 2003, menumpulkan taring raksasa rokok dunia itu. Tapi “perjuangan” Philip Morris dan BAT tidak selesai sampai di situ. Strategi mereka berikutnya: akuisisi! Sukses. Kalau dulu mereka memerangi kretek dengan isu kesehatan, sekarang mereka memproduksinya.

Kampanye anti rokok, selain merupakan perang akbar industri farmasi dengan industri rokok, adalah juga strategi merebut pasar rokok Indonesia, dan bahkan strategi merebut rokok Indonesia (kretek). Kretek dan industrinya, satu dari sedikit produk unggulan dan industri nasional yang kuat, sedang terus dirongrong. Kretek sudah yang kesekian kalinya. Sebelumnya sudah banyak industri nasional mati karena modus yang kurang lebih sama, katakanlah: minyak kelapa dan garam.

Tautan : Komunitas Kretek

Catatan : Anda bisa mendapatkan kopi buku Nicotine War dengan mengontak admin.

Satu komentar

    • Industri Rice Bran Oil ya Oom Trian ? Edan, memang model itu sudah direncanakan sejak 2 tahun kemarin, harga beras jelas akan bisa ditekan drastis, soalnya produk utamanya si Rice Bran, buat suplemen pelumas, dan berasnya jadi produk sampingan.

      Indonesia itu seksi Oom, soalnya misterius ( halah! ), banyak informasi yang misleading justru kok datangnya dari media arus utama lokal ya, bingung juga saya, ini maksudnya apa. Pemilik rekening di bank itu 19.6% dari keseluruhan jumlah penduduk yang tinggal di tanah nusantara, media bilangnya sampai 40%, tapi yang punya kredit motor sampai 60%, hebat kan ya ? Nggak punya rekening tapi bisa dapat akses kredit konsumtif, paradoks.

      Penetrasi modal keluar area Jakarta itu entry barriernya lumayan besar je, paling besar itu dari persepsi publik, bahwa hutang itu “buruk”, makanya di area- area luar Jakarta, bank paling gampang menyalurkan kredit konsumtif, soalnya lebih tidak terasa nilainya, cuma dipotong gaji, nggak seperti orang bangun pabrik, milyaran, kan kerasa banget tuh angkanya. Betul juga nasehat Kiai- kiai NU & Muhammadiyah, soal keharaman riba, soalnya kalau dihitung rasio, sebenarnya yang 90% hutang swasta itu konsentrasinya di Jakarta, lucu ya Oom 🙂

      Berita semacam itu bisa benar, bisa juga overrated, soalnya semua arus masuk kan pastinya lewat BKPM Oom, dan pasti sudah izin BI. Lha asline ki di BI banyak modal numpuk, nggak bisa disalurkan kok, soalnya syarat modal disalurkan kan butuh kolateral aset, kan nggak banyak orang macam itu, di luar Jakarta ya. Paling yang punya ya Sultan Jogja, orang paling banyak asetnya di luar Jakarta, sama TNI AD lah, tapi kan TNI masih bagian kaki tangan negara.

      Semoga nggak terjadi “transfer mispricing” saja Oom, capital flight keluar Indonesia, masuk offshore banking yang tax heaven ( biasanya wilayah punya Ratu Inggris, commonwealth), biasanya modusnya begitu je. Semoga ya teman- teman kita, tetangga masa kecil kita, bisa makan lah, dapat pekerjaan, bisa kredit rumah, kalau memang proyeknya ngasih gaji yang cukup dan kerjaan yang layak buat mereka, amin.

      Suka saya lihat tingkah polah gaya orang Jakarta itu Oom, kakehan pecicilan, duite rak mbagi- mbagi, asem tenan 😀

Tinggalkan komentar