Persaingan Herbal vs Sintetik, Really ?

Industri periklanan ( tersier), yang baru berkembang pesat pasca Perang Dunia 2, atau di awal Generasi Baby Boomers lahir, tepatnya di tahun 1960-an ( nonton sinetron Mad Men ?), memang fungsinya adalah membangun kebutuhan, di benak konsumen, terhadap barang atau jasa, sehingga seolah menjadi penting, dan mendorong untuk memiliki. Seringkali, metode yang digunakan untuk membangun identitas itu, adalah dengan membuat konstruksi tandingan, membuat konsumen yang kepahaman fungsi dasar tentang sebuah produk lemah, harus berpihak ke produk yang disodorkan oleh produsen (dan pengiklan).

Apakah Anda, yang konsumen di sini, merasa harus berpihak ke produk yang disodorkan oleh iklan, dalam hal ini Obat Kimia (sintetik) dan Obat Herbal ( bahan alam) ? Dan kalau Anda bertanya ke dokter, seringkali mendapatkan jawaban yang kurang memuaskan ? ( Karena, di kawasan urban, seringkali dokter juga menjadi kaki tangan tenaga penjualan perusahaan farmasi tertentu lho…), maka mari kita diskusikan di sini, hitung- hitung urun rembug warga.

Pernah nonton sinetron Bonanza ? Di situ obat sakit kepala bermerk Aspirin, sudah lazim digunakan kan ya ? Anda sebaiknya tahu, bahwa Aspirin, yang disebutnya Asam Asetilsalisilat itu, awalnya diekstrak dari kulit pohon Willow, obat tradisional yang sudah sejak lama dipakai untuk meredakan nyeri kepala ( analgesik). Catatan tentang kulit pohon Willow ini sudah sejak Hippocrates ( 460- 377 SM). Konstruksi ruang Asam Asetilsalisilat ini mulai dibuat versi sintetisnya, di tahun 1853, penelitian berlanjut, hingga Bayer AG ( Jerman), mulai memproduksi versi Aspirin sintetik massal di tahun 1897. Aspirin merajai pasaran, selama setengah abad ke- 20, popularitasnya menurun setelah mulai diproduksi Paracetamol, yang bertahan sampai sekarang dosisnya sudah menanjak di angka 600 mg.

Jadi, dari kasus ini, sudah bisa dipahami bukan, bahwa obat sintetik pun, awalnya adalah dari ekstraksi bahan alam. Alasan pembuatan bahan sintetik, dengan meniru konstruksi ruang molekulnya, utamanya adalah untuk alasan efisiensi produksi massal. Jika tetap mengandalkan suplai bahan baku dari alam, variabel untuk menjamin kelangsungan mata rantai suplai bahan baku terlalu banyak , belum lagi, dari satuan kilogram bahan baku,cuma nol koma sekian persen, yang bisa diekstrak ( diambil sari pati yang punya khasiat), sungguh tidak efisien, jatuhnya pun jadi mahal di pasaran.

Tumbuhan bahan alam pun, semua pasti mengandung senyawa kimia lho. Jadi, kalau ada yang menabrakkan obat herbal ( tumbuhan) dengan obat kimia, maka itu sudah aneh sejak di pendefinisian. Definisi herbal di media pun, seringkali bias. Jika herbal artinya adalah tumbuhan berkhasiat, maka tembakau ( Nicotiana tabacum), opium (Papaver somniferum), dan ganja ( Cannabis sativa) pun, bisa jadi obat, terutama untuk pasien sakit hati, yang ingin lari dari beratnya kenyataan hidup kan ? Dan penggunaannya pun, tidak bisa sembarangan, ada dosisnya. Banyak sekali kasus keracunan,misal mabuk Daun Kecubung ( Datura metel ), yang fungsinya anestesi ( bius), adalah karena ketidakpahaman tentang takaran ( dosis) pakai.

Lalu, kenapa sampai terjadi pergeseran tren dengan isu kembali ke alam, di kalangan pemasar produk farmasi ? Sampai- sampai harus membenturkan obat sintetik dengan obat bahan alam ( fitofarmasi), dan seperti terkesan membuat konsumen harus berpihak ? Begini, pola penyakit di dunia, telah mengalami pergeseran dari penyakit infeksi (yang terjadi sekitar tahun 1970 ke bawah) ke penyakit-penyakit metabolikdegenerative/ penurunan fungsi organ tubuh (sesudah tahun 1970 hingga sekarang). Hal ini seiring dengan laju perkembangan tingkat ekonomi dan peradaban manusia yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi dengan berbagai penemuan baru, konsekuensi lain, adalah lahirnya jenis penyakit baru, semacam kanker.

Pada periode sebelum tahun 1970-an banyak terjangkit penyakit infeksi yang memerlukan penanggulangan secara cepat dengan mengunakan antibiotika (sintetik). Pada saat itu jika hanya mengunakan fitofarmasi atau jamu yang efeknya lambat, tentu kurang bermakna dan pengobatannya tidak efektif. Sebaliknya pada periode berikutnya hinga sekarang sudah cukup banyak ditemukan turunan antibiotika baru yang potensinya lebih tinggi sehingga mampu membasmi berbagai penyebab penyakit infeksi.

Akan tetapi timbul penyakit baru yang bukan disebabkan oleh jasad renik, melainkan oleh gangguan metabolisme tubuh akibat konsumsi berbagai jenis makanan yang tidak terkendali serta gangguan faal tubuh sejalan dengan proses degenerasi ( penurunan fungsi organ tubuh). Penyakit ini dikenal dengan sebutan penyakit metabolik dan degeneratif. Yang termasuk penyakit metabolik antara lain : diabetes (kecing manis), hiperlipidemia (kolesterol tinggi), asam urat, batu ginjal dan hepatitis; sedangkan penyakit degeneratif diantaranya : rematik (radang persendian), asma (sesak nafas),ulser (tukak lambung/ maag), haemorrhoid (ambeien/wasir) dan pikun. Untuk menanggulangi penyakit tersebut diperlukan pemakaian obat dalam waktu lama sehingga jika mengunakan obat sintetis dikhawatirkan adanya efek samping yang terakumulasi dan dapat merugikan kesehatan. Oleh karena itu lebih sesuai bila menggunakan obat alam/OT, walaupun penggunaanya dalam waktu lama tetapi efek samping yang ditimbulkan relatif kecil sehingga dianggap lebih aman.

Nah, dari sini, warga konsumen pun bisa memilih mana yang paling tepat untuk digunakan bukan ? Tulisan ini memang untuk memberitahu konsumen, karena konsumen yang cerdas, juga bisa secara tidak langsung, membangun budaya pasar yang lebih kompetitif. Produsen tidak akan sembarangan mengeluarkan produk berbahaya, berharga murah, namun membahayakan konsumen, dan berpotensi menghancurkan pasar. Kalau Indonesia sendiri, biodiversitas tumbuhan obatnya tertinggi kedua setelah Brazil, karena Brazil punya Amazon. Tapi, jalan menuju proses industrial untuk bisa meriset semua aset tersebut masih jauh, melihat kondisi daya beli pasar, serta jumlah industrialis lokal, yang kondisi kapitalnya cukup sehat, untuk bisa mengalokasikan investasi inovasi dari bahan alam, dan kalau memungkinkan, bisa membuat obat sintetik sendiri.Kalau memang serius memasuki pasar dengan skala ekonomi makro, maka tumbuhan bahan alam harus diriset dan diproduksi dengan standar Good Manufacturing Practice (GMP) standar farmasi

Jangan kaget kalau akan banyak sekali substansi senyawa kimia, dari tanaman yang tumbuh di wilayah Indonesia, dipatenkan oleh peneliti negara lain. Karena tanpa ada tarikan transaksi ekonomi berskala industri, riset dalam skala massal dan punya daya gedor membangun kemandirian ekonomi itu seperti mengejar api dapat asap.

Tujuan penulisan ini, karena penulis memandang warga ada yang posisinya konsumen, ada juga yang produsen, ya karena sama- sama butuh, biar sama- sama tahu aja, gitu kan ya ?

Satu komentar

  1. [Generasi Baby Boomers]

    jadi bukan hoax yah max?

    • Bukan Oom 🙂

      Industri tersier, periklanan dan distribusi, memang mulai boom pasca PD 2, atau kalau disana disebutnya Baby Boomers tea.

      Industri kuartener, dengan ciri khas di kapitalisasi intelektualitas ( paten dsb), menjadi “Ekor Naga” dari Perang Dingin, ditambah dengan dibangunnya infrastruktur internet.

  2. saya ga suka obat-obatan ,dalam bentuk dan bahan apapun. Bahkan ternyata herbal pun tidak terlalu kompatibel utk lambung saya.

    btw, sedikit konsultasi nih. Tau penyakit kolik/anfal/ kram usus kan? benarkan itu diakibatkan dari maag akut? adakah pencegahan alami-nya?

    kedua, bagaimana agar lambung kita menjadi lebih familier thd herbal. Saya hanya bisa mengkonsumsi madu sebagai suplemen (akhir2 ini tubuh harus bnyk suplemen agar tetap sehat). Herbal semacam habatussauda itu membuat lambung saya sebah dan mual 😦

  3. Sangat menarik sekali ulasan topiknya, hemm saya juga baru ngeuh ternyata obat-obatan herbal lebih efektif dan lebih aman untuk penerapan jangka panjang ya ? Terus sampai sejauh ini sudah sampai mana perkembangan industri obat herbal? Bagaimana dengan pabrik2 jamu yang mengclaim sudah memanfaatkan potensi hayati kita untuk proses obat yang terstandarisasi secara cGMP ? Apakah sudah menjadi “trigger” industri fitofarma lokal ? , great posting mr.Max 🙂

  4. Great posting nih, ayo jadi tuan rumah “JAMU” dinegeri sendiri, mengembangkan herbal dengan evidence based, tidak lagi hanya sebatas empirical, sehingga bisa bersaing di era global….

  5. Lala

    “Untuk menanggulangi penyakit tersebut diperlukan pemakaian obat dalam waktu lama sehingga jika mengunakan obat sintetis dikhawatirkan adanya efek samping yang terakumulasi dan dapat merugikan kesehatan. Oleh karena itu lebih sesuai bila menggunakan obat alam/OT, walaupun penggunaanya dalam waktu lama tetapi efek samping yang ditimbulkan relatif kecil sehingga dianggap lebih aman.

    Mau menambahkan aja, terlepas dari masalah dosis ataupun penggunaan yang belum evidence based (hanya sebatas empirical) dari buku yang pernah saya baca ada paradigma yang harus diluruskan tentang hal diatas yaitu bahwa obat bahan alam juga punya efek samping yang tidak kalah berbahaya jika dibandingkan dengan obat sintetik…secara sama2 senyawa kimia juga yang dikandungnya….kalau benar-benar mendalami bidang fitofarmasi sebenarnya banyak case report yang menyebutkan tentang efek samping penggunaan bahan alam…jadi agak kurang bijak juga kalau langsung mengklaim bahwa bagaimanapun obat bahan alam lebih aman daripada obat sintetik…IMO…:D

  6. semakin tahun orang jauh lebih memilih obat herbal dari pada obat sintetik. dan tidak di asia saja bahkan saya mendapatkan informasi di USA pun kini mulai beralih di pengobatan herbal

Tinggalkan Balasan ke Maximillian Batalkan balasan